Kala hati memilih pulang

Pada suatu senja yang redup dan bersahaja, aku mulai merasakan desir rasa kepada tuan. Kehadiran tuan bagai angin semilir yang menyentuh jiwaku yang lama terdiam. Dalam sunyi yang menyelimuti hari-hariku, tuan hadir membawa cahaya yang semula kuanggap sebagai penanda harapan. Namun, seiring waktu berjalan, langkah tuan tidak pernah pasti. Hari ini tuan menyapa dengan hangat, esok menjauh tanpa kabar. Kata-kata tuan mengandung makna, namun sikap tuan seolah meniadakannya. Tuan memberi isyarat seakan ingin mendekat, namun segera menarik diri seolah lupa arah. Aku bertanya dalam diam, berjuang memahami teka-teki yang tak kunjung terurai. Namun seberapa dalam pun aku mencoba mengerti, ketidakpastian yang berulang hanya menghadirkan luka yang tak terlihat, tetapi nyata terasa. Sampai pada suatu malam yang tenang, ketika aku berdiri di antara pilihan untuk terus berharap atau menjaga martabatku sendiri, memutuskan untuk melangkah pergi. Bukan karena benci, bukan pula karena marah. A...