Kala hati memilih pulang
Namun, seiring waktu berjalan, langkah tuan tidak pernah pasti. Hari ini tuan menyapa dengan hangat, esok menjauh tanpa kabar. Kata-kata tuan mengandung makna, namun sikap tuan seolah meniadakannya. Tuan memberi isyarat seakan ingin mendekat, namun segera menarik diri seolah lupa arah.
Aku bertanya dalam diam, berjuang memahami teka-teki yang tak kunjung terurai. Namun seberapa dalam pun aku mencoba mengerti, ketidakpastian yang berulang hanya menghadirkan luka yang tak terlihat, tetapi nyata terasa.
Sampai pada suatu malam yang tenang, ketika aku berdiri di antara pilihan untuk terus berharap atau menjaga martabatku sendiri, memutuskan untuk melangkah pergi. Bukan karena benci, bukan pula karena marah. Aku hanya memilih untuk berhenti menggenggam apa yang tak pernah benar-benar digenggam olehmu.
Dalam perjalananku meninggalkan kenangan tentang tuan, aku kembali bertemu seseorang yang pernah kuabaikan—ia yang dulu mencintaiku dalam kesederhanaan, tanpa keraguan. Bersamanya, aku tak lagi menebak-nebak. Tidak ada sandi, tidak ada ragu. Hanya ketulusan yang ditawarkan, dan ketenangan yang kurasakan.
Kini aku tidak lagi mencari cinta yang menggantung dalam tanya. Aku memilih kembali kepada yang nyata, kepada cinta yang dahulu sempat kulepaskan, namun tak pernah benar-benar padam.
Aku telah memilih pulang. Dan di sanalah, dalam pelukan yang lama namun tak pernah asing, aku menemukan kembali bahagiaku.
Selamat Jalan Sang Adam, semoga engkau hidup bahagia. Dan aku pun sudah bahagia.
Komentar
Posting Komentar